Tak Peduli Sehebat Apa Kita, Sebaiknya Kita Belajar Menulis
Orang-orang yang beredar di linimasa media sosial kerap membikin saya takjub. Saya harus mengacungkan jempol setinggi-tingginya karena mereka berani menulis dan berpendapat soal apa pun. Anda dapat mengecek linimasa media sosial Anda sendiri—Facebook, Twitter, Instagram, dan semacamnya. Seorang duda yang Anda kenal sebagai pengecer kurma bisa mengoceh soal isu politik teranyar, ibu-ibu tetangga sebelah rumah membicarakan hukum-hukum agama setelah mengunggah foto cucian kotor, dan seorang pemuda semester satu menggebu-gebu mencela boomers.
Mereka menumpahkan apa-apa yang ada di benak mereka penuh percaya diri. Sekalipun kebanyakan tulisan mereka singkat, jelek, dan tak beraturan; itu sama sekali tak mengurangi keyakinan bahwa isi kepala mereka mesti disebarluaskan sesegera mungkin. Sebab boleh jadi besok matahari terbit dari barat dan Dajjal sedang berjalan kaki di dekat-dekat sini. Dan sebagai orang dengan hati penuh niat luhur menyelamatkan umat manusia dari jurang kegelapan, tak ada alasan bagi mereka menunda-nunda menyebarkan gagasan, kendati cuma lewat status WhatsApp atau sederet kepsyen di feed Instagram. Tak peduli betapa tulisan tak selamanya membawa kebaikan.
Sementara orang-orang jenis di atas terus-menerus memproduksi tulisan-tulisan murahan (atau sama sekali tak berharga), di lain tempat sejumlah orang tekun membaca dan meraup ilmu dari para pakar yang tepercaya. Saking sibuknya mengumpulkan pengetahuan, mereka tak punya waktu untuk memperbarui status Facebook atau bikin thread di Twitter. Sekalinya aktif di media sosial, mereka hanya membalas pesan-pesan pribadi seperlunya atau paling banter mengunggah foto pepohonan di kala senja dan sampul buku yang sedang mereka baca.
Sesungguhnya orang-orang dari jenis kedua memiliki lebih banyak modal dan kepantasan untuk memaklumatkan gagasan mereka daripada golongan pertama. Mereka membaca lebih banyak buku dan berpikir lebih keras. Mereka bisa jadi seorang sarjana ilmu politik yang sekurang-kurangnya membaca seratus halaman buku tiap hari atau seorang pengkaji agama yang melewatkan bakda subuh hingga duha dengan membaca kitab-kitab kuning.
Tetapi, kenapa mereka tidak gencar berbicara? Kenapa mereka “kalah” dari orang-orang jenis pertama yang kata-kata mereka sering memperburuk keadaan alih-alih membawa pencerahan?
Demikianlah ironinya. Orang-orang dengan ilmu terbatas biasanya memang memiliki kenekatan tanpa batas. Sebaliknya orang-orang dengan isi kepala serupa perpustakaan lazimnya lebih berhati-hati dan tidak mengeluarkan pendapat kecuali sangat mendesak.
Untuk orang-orang jenis pertama (saya khawatir saya termasuk ke dalam golongan itu) hal terbaik bagi mereka adalah memperbanyak baca dan menatap cermin. Sedangkan untuk orang-orang jenis kedua, tanpa mengurangi rasa hormat atas keputusan mereka untuk lebih banyak diam, saya berharap mereka mulai membuka diri. Paling tidak mereka harus lebih banyak tampil dan mengemukakan pendapat. Cara paling efektif untuk mempraktikkannya adalah dengan menulis. Namun, hal yang lebih mendasar adalah: mereka harus mulai belajar menulis.
Saya mengenal beberapa orang yang saya tahu betul bagaimana cemerlangnya keilmuan mereka dan betapa mereka punya seperangkat ciri untuk masuk nominasi pemuda terbaik pada milenium ini. Akan tetapi, begitu mereka menulis, saya seperti melihat sosok lain, seolah-olah saat menulis dirinya tertukar dengan roh jahat yang datang dari bekas kubangan lumpur Lapindo.
Ada jurang besar antara orang pintar dengan orang yang pintar menulis. Tidak semua orang pintar adalah orang yang pintar menulis, tapi kebanyakan—untuk tidak mengatakan semua—orang yang pintar menulis adalah orang pintar. Banyak orang secara gegabah mengaminkan dan menyanjung semua tulisan yang ditulis oleh orang pintar, padahal ditinjau dari ilmu kepenulisan, tulisannya begitu menyedihkan. Saya sering mendapati kasus semacam itu dan itu agak membuat saya sedih.
Sebutlah seseorang yang pintar ilmu agama. Dalam forum ceramah, ia begitu fasih dan hafalannya sangat melimpah. Namun, begitu membuat tulisan, ia terlihat sangat tergopoh-gopoh. Ia kesulitan membedakan “di” preposisi dengan “di” imbuhan. Ia tak pandai membikin kalimat. Ia tak paham mana huruf yang mesti dikapital dan mana yang tidak. Ia menulis dengan ungkapan-ungkapan yang kelewat klise. Dan masih banyak lagi.
Bagi orang-orang awam, hal-hal di atas barangkali tidak dianggap penting. Mereka akan cepat-cepat berujar, “Ah, yang penting kan esensi tulisannya.” Pada satu titik perkataan itu benar, tapi pada banyak titik lain pernyataan itu salah besar. Saya bergaul dengan orang-orang yang berkecimpung dan bertungkuslumus dengan tulis-menulis. Mereka rakus membaca buku dan mati-matian belajar menulis dan satu hal yang paling bikin mereka kecewa dan geleng-geleng adalah ketika mendapati sebuah tulisan yang penuh cacat pikir dan cacat bentuk—tak peduli penulisnya seorang doktor lulusan Inggris atau seorang dai yang dipuja-puja ribuan orang.
Seperti melukis, mengendarai motor, bermain sepak bola, atau merancang arsitektur, menulis juga ada ilmu dan seninya. Seseorang tidak bisa asal menulis, tanpa pengetahuan apa pun soal kepenulisan, lantas mendaku dirinya sebagai “penulis”. Sebagaimana seseorang tidak bisa mendaku dirinya setara Lionel Messi hanya karena dapat mencetak hat-trick dalam pertandingan antarkampung.
Belajar menulis adalah suatu hal yang sangat penting. Bukan menulis dalam arti menggurat huruf i-b-u menjadi “ibu”, tapi menulis dengan pengertian sebagai cara menyebarkan gagasan atau sekadar cerita. Dan ilmu menulis bukan hanya perlu untuk dipelajari oleh orang-orang yang kepengin menjadi penulis, tapi oleh siapa pun, terutama orang-orang yang kerap tampil di hadapan umum dan pendapatnya dianggap penting.
Lantas, apa yang harus dipelajari dalam ilmu menulis? Ada banyak dan bukan di sini tempat untuk menguraikannya satu per satu. Tapi paling tidak, hal-hal mendasar seperti cara membuat kalimat yang baik, membangun argumen yang kokoh, dan membuat pembuka tulisan yang memikat adalah di antara poin-poin yang mesti segera dipelajari.
Saya bukan orang yang ahli menulis, tapi percayalah, kalau pembuka tulisan ini saya ubah menjadi seperti ini, Anda pasti akan mengernyitkan dahi:
Orang-orang dimedsos bikin takjub. Di acungkan jempol buat mereka. Menulis dan berpendapat apa aja. Mengecek lini masa medsos2 sendiri coba. Orang duda kenalan tukang kurma ngomong politis. Ibu-ibu bicara agama. Anakmuda semester 1 suka mengujat.
Anda mungkin dapat “memahami” maksud kata-kata tersebut, tapi sebaiknya Anda jujur bahwa tulisan semacam itu—tak peduli betapa mulia niat si penulis—membuat Anda pusing dan sakit perut. Dan pusing serta sakit perut itu bisa dihindarkan andai saja si penulis mau belajar menulis. (Erwin Setia, Penulis adalah Staf Perpustakaan SMA FG dan kolumnis di berbagai media)